Halaman

Minggu, 16 September 2012

Harapan dan Ketakutan


 
Harapan dan ketakutan merupakan dua sisi yang gak bisa dipisahkan dari ku sekarang ini. Harapan dan ketakutan juga yang bukan seiring bergantian untuk menyelimutiku, tapi mereka justru berjalin erat bak merupakan satu kesatuan yang enggan untuk terpisah. Untuk selalu mengingatkanku bahwa tiap hal bisa terjadi kepadaku. Dalam hidupku. Mau tidak mau ketika jalan yang ku lalui menyimpang dari yang seharusnya ku jalani.
Kehidupan ini memang berat, meski jika di flash back keberatan yang ku dapatkan masihlah jauh dari berat yang mungkin pernah kebanyakan orang-orang pernah dapatkan.
 Aku mungkin bukan orang yang kaya, tapi jelas bahwa hidupku tidak pernah merasa kekurangan. Satu-satunya barang yang sampai saat ini belum pernah ku dapatkan meskipun aku menginginkannya dalam masa kecilku adalah mobil remote control. Bukan karna orang tua ku tak bisa untuk membelikannya, tapi karena ketika aku mau, mereka mendidikku untuk mampu berusaha mendapatkan apa yang aku mau, yaitu mengumpulkan uang dari jajan yang telah aku dapatkan. Dan aku belum mengerti apa itu menabung, apa itu berkorban. Tapi meski begitu aku tak pernah sedih karena hal itu, karena dalam hari ku, aku tak pernah mendapat kesempatan untuk itu.
Ibu ku pernah berkata, "sesusah-susahnya hidup kita, masih belum pernah kita makan nasi cuma berlaukkan sambel cabe garam (cabe dan garam yang diulek)" merepresentasikan bahwa memang dalam keadaan roda kami di bawah pun kamu tak pernah berada di saat bagian kami itu tertabrak lubang. Meskipun aku pernah makan sambel itu ditemani lalapan. Bukan karna gak ada lauk di rumah, tapi karna itu merupakan salah satu makanan kesukaanku.
Tapi dalam hidupku, harapan dan ketakutan memang tak pernah lepas dari hidupku. Ketika aku menjalani suatu fase hidupku, dan aku menginginkannya, aku mengharapkannya, aku juga tak bisa melepaskan diriku dari ketakutan jika aku gagal untuk mendapatkannya. Ketika SMP, aku pernah dicalonkan menjadi ketua OSIS. Ketika itu aku belum mengerti apa itu ketua OSIS, namun diriku merupakan salah satu siswa yang cukup dikenal, entah apa bisa disebut populer. Namun kepopuleran yang ku dapatkan bukan hasil jerih payahku sendiri. Namun karena kedua abang ku yang memang sebelumnya sudah sekolah disana, dan yang ku tahu pasti abang kedua ku pernah menjadi ketua OSIS disana. Meskipun aku tahu aku tidak memiliki kemampuan untuk itu, tapi aku menginginkannya. Demi gengsi. Dan aku takut jika aku kalah.
Dan ketika pada saat pemilihan itu, aku kalah dari orang yang dicalonkan juga, padahal dia belum sebulan menjadi anak baru di Sekolah ku. Aku marah, kecewa, meski aku tak mampu jika seandainya aku nanti terpilih. Namun disisi lain aku belajar satu hal dari kehidupan. Bagaimana mungkin mereka memilih orang yang belum mereka kenali lebih jauh? Hanya karena anak baru, maka kepopulerannya lalu meroket drastis, karena kehadiran murid baru memang seperti bintang di sekolah ku yang dulu. Oase atas jenuhnya muka-muka lama yang biasa di temui. Tapi kemudian aku melupakan kekalahanku. Aku tak pernah marah lagi pada kegagalanku, dan aku tetap bisa move on.
Namun ada kalanya jika Harapan dan ketakutan itu berubah pada suatu ketika aku yakin keberhasilan akan menyergapku, ketakutan yang biasa ku dapatkan, berubah menjadi keyakinan. Suatu ketika aku mengikuti tes Paskibraka di kabupatenku. Pada awalnya aku takut tak terpilih, takut pada akhirnya berbuah ledekan untukku. Namun ketika hari pertama seleksi, dan aku melihat peserta-peserta lain yang mengikuti seleksi, aku tahu aku akan terpilih. Entah kenapa, keyakinan itu muncul begitu saja, menjadikan semangatku dan sikap positifku datang, untuk menyambut keberhasilan yang akan meraihku. Dan betul saja, aku bahwkan terpilih menjadi anggota Paskibraka tingkat provinsi di tempatku tinggal. Meski gagal menyentuk tingkat Nasional, tapi aku tak kecewa, karena aku tahu dari awal ketika aku mengikuti seleksi itu, aku sadar diri atas kemampuanku dan aku mengurangi harapanku yang sangat ingin ku nyatakan.
Namun tak selamanya kita mampu untuk mengurangi harapan yang ingin kita dapatkan. Itu yang menjadi permasalahannya. Sama yang ku lalui saat ini. Kuliah ku mungkin cepat, aku bisa lulus dengan 3,5 tahun untuk mencapat gelar sarjana ku, sedang umumnya standar normal yang banyak kulihat pada senior-seniorku kebanyakan di atas 4 tahun untuk mencapainya. Aku juga bisa lulus dengan cum loude. Dan aku bisa memilih untuk menunda mencari pekerjaan. Aku memilih untuk berlibur selama beberapa bulan. Dengan alasan takut mengalami kejenuhan, aku memulai SD di usia 5 tahun, dan mendapatkan gelar S1 ku sebelum genap berusia 21 Tahun. Wajar jika aku berpikir begitu, dan orang tua ku juga mendukung ku untuk pulang dan merilekskan diri ku.
Namun pada akhirnya toh aku harus kerja pula, untuk menunjukkan eksistensi ku pada dunia, karena cukup pengang juga telinga dengan ocehan teman-teman sekampus ku yang mengatakan percuma lulus cepat kalau tidak kerja cepat. Maka tentunya aku perlu mencari sasaran lokasi yang bisa aku jadikan tempat menampung rizki. Dan mulailah aku mengirimkan lamaran-lamaran ke berbagai perusahaan. Di fase ini aku masih bersantai dan tidak terburu oleh waktu untuk segera mendapatkan pekerjaan. Makanya ketika aku mendapatkan panggilan dari beberapa perusahaan, dan ketika aku merasa tempatnya terlalu jauh, maka aku memilih untuk tidak melanjutkannya. Padahal masih berada di sekitaran Jakarta. Namun rasa ketakutan belum muncul di diriku, karena pada dasarnya aku mengharapkan suatu pekerjaan yang dari sebelum lulus sudah sering aku dengar. Pekerjaan di tempat ayah NIF. Dan jujur aku mengharapkannya, meskipun aku sadar ketika aku menginginkannya, hal itu cukup sulit untuk ku dapatkan. Karena prosesnya panjang, dan terkadang mental instanku masih cukup kuat bersarang di tubuhku.
Mungkin sudah 4 bulan setelah wisuda ku, aku baru sadar aku terlalu lama menganggur, dan aku mulai merasa jenuh dengan rutinitas dan titel sarjana pengangguran yang ku dapatkan. Dan untungnya ketika aku mulai merasakan itu, aku bisa kerja di Management Trainee di sebuah perusahaan yang baru berdiri selama beberapa tahun. Dengan info yang ku dapatkan dari kampus ku mengenai lowongan dari beberapa perusahaan, akhirnya aku memilih perusahaan ini. Kereje PT kalau kata orang di kampungku, bukan hal yang prestisius jika PT ini terdapat di daerahku, karena Papa ku saja melarang aku kerja di swasta jika seandainya aku di Belitung.
Dan ketika aku mendapatkan fase ini, aku harus mengikuti masa training sebelum nantinya aku mendapatkan titel resmi sebagai seorang pekerja. MT yang ku lalui ini lah yang mengapit diriku dengan Harapan dan Ketakutan baru. Harapan untuk berhasil melalui masa trainee selama satu tahun, dengan berbagai metode yang di berikan. In class dan on the job training yang harus dilewati selama 1 tahun, sebelum nantinya meresmikan diri menjadi seorang karyawan di perusahaan ini.
Namun ketakutan juga menemaniku, ketakutan karna tiap fase yang dilalui disini memiliki penilaian. Masa  yang ku lalui, bersistem teori, dan kemudian memiliki tes, untuk melihat sejauh mana mengerti materi yang disampaikan, dengan standar nilai minimal yang sangat tinggi. Jika kuliah standar nilainya sama dengan A. Dan jika aku gagal untuk selalu mendapatkan nilai tersebut, atau pada akhir evaluasi, yang bukan dilaksanakan setelah satu tahun, namun per berapa bulan tergantung kebijakan perusahaan, maka kemungkinan aku akan dikick out. Inilah ketakutan yang saat ini juga menemaniku. Karena dalam 2 minggu pertama ini saja, sudah 4 kali kami mendapatkan ujian. Dan untuk nilai ke empat ini aku masih belum tahu berapa nilaiku.
Aku tak meragukan apa yang aku miliki, namun aku sadar dunia kerja ternyata tidak hanya dibutuhkan kemampuan pribadi yang tinggi, namun juga kemampuan sekitar yang tak lebih terlalu tinggi dibandingkan kita. Atau bagaimana kita tidak dijegal dan dijatuhkan oleh "rekan" sekitar yang menginginkan apa yang bisa didapatkan. Mungkin terdengar biasa saja, tapi suhu persaingan ini memang telah terasa, dan aku belum bisa terlalu cepat untuk mampu beradaptasi dengan mudah.
Mungkin fase ini pun akan sama dengan fase-fase sebelumnya yang telah pernah aku miliki, namun tentu saja, dengan harapanku yang sangat tinggi terhadap keberhasilanku kali ini. Ketakutan juga sangat menguasaiku. Ketakutan yang memancingku dan memaksaku untuk selalu survive disini, berjuang dan bertahan. Untuk membuktikan pada orang-orang sekitarku bahwa aku bisa, aku mampu. Dan aku tak ingin mereka memandangku sebagai orang yang gagal.
Aku ingin mereka memandangku dengan bangga, dan memang menganggapku sebagi orang  yang selalu bisa tuk mereka banggakan.
Mereka, Keluargaku dan NIF sekeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar