Halaman

Selasa, 19 Agustus 2014

Independence Day

"17 agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita."
Sebagai bangsa Indonesia yang pernah merasakan bangku sekolah, minimal pernah nonton tv ketika bulan agustus tentu rasanya pernah mendengar kutipan lagu tersebut. Iya, lagu musiman yang dalam setahun munculnya beriringan biasanya dengan nasionalisme kita yang juga kadang ikutan musiman.
Agustus tahun ini buat aku cukup berbeda dibandingkan agustus beberapa tahun yang lalu. Mungkin lebih tepatnya agustus 6 tahun belakangan ini. Yang terakhir semenjak 2008 aku aktif di kegiatan agustusan. Terutama di paskibraka kabupaten Belitung Timur sebagai bagian dari Purna Paskibraka Indonesia yang turut membantu tim pelatih mempersiapkan calon pengibar bendera.
Berkaca dari tahun-tahun masa kecil, sepertinya ada 3 tahapan yang aku lalui di bulan agustus dalam hidup. Pertama adalah masa kanak-kanak sampai dengan SMP, dimana gua aktif sebagai peserta lomba agustusan di sekolah maupun di kampung. Aku ingat banget pernah juara lomba maka kerupuk dan punya tas hasil menang lomba panjat pinang.  Lalu masa itu selesai ketika SMA, ketika aktif di pengibar bendera, dari 2005 sampai tahun pertama kuliah di 2008 gua selalu berkutat dengan dunia PBB, pelatihan disiplin dan lain sebagainya. Pernah sebagai anggota dan tim pelatih pula. Merupakan salah satu kebanggaan pula bagiku menjadi bagian dari keluarga besar PPI. Oh iya, agustus tahun ini aku dengar bahwa pengibaran di Kabupaten pun sukses. Syukurlah.
Lalu bagian ketiga adalah di dunja perantauan. Ketika aku memasuki kawasan yang lebih seringnya terasa asing untukku. Sehingga praktis agustusan yang aku lalui semenjak 2009 adalah terkadang hanya melihat di tv. Seringnya pun tidak. Meski sesekali ketika berbarengan dengan waktu bisa pulang ke Belitung, aku sempetkan untuk melihat perkembangan diklat paskibraka. Yang mukanya sudah berganti dengan wajah-wajah baru. Purna junior yang saling tidak mengenal dengan diri. Tapi itu adalah hal biasa, mungkin aku pula yang kurang mampu mengenalkan diri dengan baik kepada mereka.
Namun tahun ini,  aku merasakan kembali ke dunia kanak-kanak. Semacam kode yang Tuhan berikan untuk pertanyaan mengenai pilihan hidup yang selama ini masih ku pertanyakan.
Ketika menunggu  Dedek pulang kerja di daerah Sudirman, iseng aku jalan je daerah kampung di dekat kantornya. Disana aku melihat lomba-lomba yang kembali mengundang tawa. Rasanya bagaikan bernostalgia pada masa lampau yang tak sempat dinikmati.
Melihat peserta lomba, aku bertanya-tanya, apakah dulu aku tertawa seperti mereka pula? Mengingat saat ini yang hidup penuh tekanan dan kompetisi, jangan-jangan lomba agustus pun dulu ku anggap bagaikan persoalan hidup mati dan harga diri.
Apa kamu dulu juga mengikuti lomba seperti ini?  Kata Bule di sampingku yang kebetulan ikut menonton lomba. Dia bertanya setelah sebelumnya ku tanyakan apa pernah melihat ini di negara asalnya.
Tentu aku pernah, tapi merasakan kegembiraan ketika tampil dan jadi bagian yang turut ditertawakan? Jujur aku tak ingat apa dulu pernah merasakannya.
Semoga umurku masih cukup banyak tersisa untuk menjadi bagian itu (lagi?)