Kehidupan demokrasi
Indonesia seakan tidak ada hentinya mengalami pergolakan. Masih belum tuntas
masalah-masalah di negeri ini mengenai praktik korupsi dan tindak kejahatan lain yang terkait
nama-nama dengan posisi penting di Indonesia. Kali ini yang menjadi sorotan
adalah mahasiswa, sebagai kaum terpelajar dengan membawa nama sebagai agent of change karena aksi-aksi
demonstrasi yang pada akhirnya berujung pada tindakan anarkisme.
Demonstrasi dalam
konteks negara demokrasi memang
merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Demonstrasi sering dipandang
sebagai bentuk nyata dari aspirasi dan
wujud dari kegerahan melihat keadaan yang abnormal. Ketika suatu kondisi tidak berjalan dengan yang seharusnya
terjadi, maka demonstrasi menjadi salah satu bentuk solusi yang
ditawarkan. Demonstrasi dianggap menjadi
salah satu konteks kritik yang lebih efektif. Kritik terhadap keadaan yang ada,
sekaligus menyelipkan harapan bahwa dengan adanya demonstrasi keadaan akan
berubah sebagai mana mestinya.
Namun jika yang terjadi
kemudian adalah tindakan anarkisme dalam demonstrasi, jelaslah bahwa ada
sesuatu yang salah dalam pemaknaan demokrasi itu sendiri. Gerakan mahasiswa
yang dipandang sebagai gerakan terdidik dalam perbaikan yang nyata akan mengubah
makna demonstrasi sebagai kritik yang cerdas dan solutif. Karena sejatinya demonstrasi
tidak hanya menuntut untuk didengarkan kemudian dituruti semua yang diingini,
melainkan juga termasuk kemauan untuk mendengarkan penjelasan dari pihak
terkait, kemudian bersama-sama merembukkan solusi yang lebih matang dan relevan
terhadap keadaan.
Penulis menilai ada
beberapa langkah yang bisa disebagai rekonstruksi demonstrasi dalam
peminimalisiran tindakanan anarkisme.. Pertama,
mahasiswa sekaligus sebagai tokoh utama dalam demonstrasi perlu untuk merenovasi
tujuan dan niat awal dari suatu demonstrasi. Apa yang sesungguhnya menjadi target goal yang ingin dicapai, jelas
bahwa anarkisme bukan merupakan langkah-langkah yang harus diambil. Jangan
sampai pada akhirnya terjadi penyelewengan dari apa yang ingin diharapkan.
Kedua,
dari
pihak yang menjadi pengawas dari demonstrasi, dalam hal ini dari pihak aparat
keamanan. Mahasiswa harus bisa untuk menjaga emosi dalam menyerukan tuntutan
kepada pihak terkait. Keyakinan bahwa kebenaran harus disampaikan melalui jalan
yang benar pula harus dijunjung tinggi sehingga tidak tercipta suatu keadaan
yang tidak terkendali.
Ketiga,
Adalah
penyadaran bahwa demonstrasi bukanah suatu langkah akhir dalam penyampaian
aspirasi. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh, dan hal ini yang menjadi
tantangan mahasiswa dalam mencari alternative tersebut.
Karena semua bentuk
anarkisme itu bila ditelaah sesungguhnya merupakan wujud pengkhianatan terhadap
hakikat dan nilai-nilai demokrasi. Pada saat anarkisme terjadi, maka pada saat
itulah demokrasi menjadi mati. Sehingga posisi mahasiswa dalam hal ini bukan
merupakan pengingat pemerintah dalam proses pengelolaan Negara sebagai pengawal
demokrasi. Kedudukan mahasiswa tidak ubahnya menjadi embel-embel belaka. Tanpa
adanya pertanggung-jawaban moral atas semakin cacatnya demokrasi oleh
karenanya. Hal yang kemudian terjadi adalah pengerdilan sendiri posisi
mahasiswa dihadapan rakyat, sehingga kepercayaan bahwa aksi mahasiswa sebagai
aksi moral atas nama rakyat akan berubah menjadi sekedar slogan tanpa realisasi
yang nyata. Bagaimana?
*Tulisan ini dibuat pada tanggal 3 oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar