Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

Menakar Mutu Ala Indonesia



Pelaksanaan Ujian Nasional tetap berjalan, seakan tanpa halangan. namun bukan berarti tanpa penentang, berbagai kontroversi mengenai pelaksanaannya, terutama mengenai penggunakan UN sebagai standar mutu pendidikan masih juga bergema. Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah pragmatis pemerintah untuk menaikkan prestise pendidikan Indonesia di mata dunia. Hal itu dikarenakan hasil belajar selama bertahun-tahun hanya diputuskan dalam beberapa hari, pelaksanaan Ujian yang dijadikan sebagai tolak ukur mutu pendidikan siswa dikhawatirkan akan menimbulkan banyaknya anak didik yang mendewakan kelulusan tanpa mendapatkan esensi dari pendidikannya itu sendiri.
Pengukuran mutu pendidikan yang hanya dilihat pada outputnya, seperti yang terdapat dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas, seakan memperlihatkan kenaifan pemerintah dalam menilai apa yang telah dipelajari anak didik selama bersekolah, padahal mutu yang sesungguhnya adalah bagaimana proses yang dilalui siswa itu sendiri selama proses pembelajarannya.

Ujian yang seharusnya dilaksanakan pemerintah seharusnya bukanlah tolak ukur yang kemudian dijadikan sebagai standar penentuan mutu dan kelulusan siswa, karena hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai dengan proses belajar yang bermutu pula. Jika proses belajar yang tidak bermutu menghasilkan skor Ujian yang tinggi maka hampir bisa dipastikan hasil belajar yang didapatkannya adalah kesemuan belaka. Sebaliknya, jika proses belajar yang bermutu ternyata mendapatkan nilai yang buruk ketika Ujian, kemungkinan yang terjadi adalah terdapat kesalahan eksternal proses belajar yang menyebabkan terjadinya hal yang demikian.
Hal yang ditakutkan terkait dengan penggunaan sistem kelulusan dengan UN ini adalah paradigma yang akan terbentuk apakah lulusan yang banyak itu memang untuk melihat mutu pendidikan atau karena pemerintah butuh lulusan yang berkuantitas demi menaikkan prestise pendidikan Indonesia yang sudah jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang sebelumnya berada di bawah Indonesia. Dikhawatirkan keadaaan yang demikian akan merusak esensi dari pendidikan Indonesia menjadi hal yang pragmatis tanpa melihat proses pendidikan, hanya melihat mutu sebagai apa yang bisa terlihat meskipun itu hanyalah prestasi yang semu.
Padahal sebelum menerapkan standar mutu pendidikan dengan cara seperti itu, masih banyak hal yang harus dibenahi terlebih dahulu dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam jangka pendek, penulis menilai perlunya suatu badan indipenden yang secara terus-menerus mengadakan kajian-kajian untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan. Diharapkan dengan adanya badan seprti ini segala masalah yang ada akan ditemukan penyebabnya, dan segera dicarikan solusi terbaik untuk menyelesaikannya. Sedangkan Ujian Nasional hanya dijadikan untuk memetakan hasil pendidikan di daerahnya, bukan siswa secara keseluruhan.
Dalam jangka panjang, penulis menilai banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan, diantaranya adalah penyempurnaan sarana belajar yang disertai dengan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan. Hal ini sangatlah penting karena dengan sarana belajar yang menunjang dan baik, akan membawa pengaruh yang positif pula dalam perkembangan belajar peserta didik. Sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan mutu dari siswa.
Diharapkan dengan berbagai perbaikan-perbaikan yang bertahap dan berjangka, akan mengubah paradigma bahwa kualitas pendidikan hanya dilihat dari output lulusan yang dihasilkannya. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang pendidikan dengan proses yang bersih, bukan pendidikan pragmatis yang menginginkan prestise, tanpa esensi yang berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar